Senin, 20 Januari 2014

Makalah Antropologi Kesehatan Tingkah Laku Sakit

BAB I
PENDAHULUAN
1.1                  LATAR BELAKANG

Tingkah laku sakit, Peranan sakit dan peranan pasien sangatlah di pengaruhgi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya, maka ancaman kesehatan yang sama tergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda dari kalangan pasien.
Tingkah laku sakit adalah cara-cara dimana gejala di tanggapi, di evaluasi dan di perankan oleh seseorang yang mengalami sakit.
Budaya stress dan penyakit dapat di alami individu atau kelompok dalam masyarakat, saat kebudayaan memberikan tekanan-tekanan baik secara langsung atau tidak langsung. seperti sebuah kebudayaan yang melalui aturan serta sangsi yang membuat para penganutnya terikat kedalam dan tidak memungkinkan penganutnya untuk bertindak diluar from baku yang telah di tetapkan. Oleh karena itu, kita patut dan wajib mempelajari dan memahaminya di dalam kehidupan sehari-hari, tentu akan jauh lebih mudah dan dimengerti.

1.2                 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana cara mengidentivikasi orang yang memiliki tingkah laku sakit, stress dan penyakit ?

1.3     TUJUAN
Berdasarkan latar belakang dan masalah di atas, Kami membuat makalah ini dengan tujuan untuk menjelaskan Tingkah Laku Sakit dan Budaya Stress dan Penyakit.


BAB II
TINGKAH LAKU SAKIT

2.1     Definisi Tingkah Laku Sakit

            Dalam mempelajari tingkah laku sakit, penting bagi kita untuk mengingat pesan Von Mering, bahwa”studi yang mengenai makhluk manusia yang sakit berperan bahwa setiap individu hidup dengan gejala-gejala maupun konsekuensi penyakit, dalam aspek-aspek fisik, mental, aspek budaya dan aspek sosialnya. Untuk meringankan penyakitnya, si sakit terlibat dalam rangkaian proses pemecahan masalah yang bersifat internal maupun eksternal baik yang spesifik maupun yang non spesifik”(Von Mering 1970:1972-273).

Ciri-ciri orang yang bertingkah laku sakit:
1.      Merasa kurang enak badan.
2.      Fungsi tubuh yang kurang baik.
3.      Kurangnya nafsu makan.
4.      Suhu tubuh tidak normal,dll.
Tingkah laku sakit dapat terjadi tanpa peranan sakit dan peranan pasien. Seseorang dewasa yang baru bangun tidur dengan leher sakit menjalankan peranan sakit, maka ia harus memutuskan apakah ia akan minum obat dan mengharapkan kesembuhan atau memanggil dokter. Namun demikian, ini bukanlah tingkah laku sakit hanya apabila penyakit itu telah didefinisikan secara cukup serius sehingga menyebabkan seseorang tersebut tidak dapat melakukan sebagian atau seluruh peranan normalnya yang berarti mengurangi dan memberikan tuntutan atas tingkah laku peranan orang-orang disekelilingnya, maka barulah dikatakan bahwa seseorang itu melakukan peranan sakit.
Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, suku bangsa, dan budaya yang berlaku disuatu tempat.
Contoh tingkah laku sakit, sebagai berikut:
1.     Bangsa Jepang

pada periode 1996-1998 di RS Medistra Jakarta pada beberapa pasien berwarga Negara Jepang. Tampak pasien segera berespon dengan perubahan sakit yang terjadi pada dirinya. Sesuai dengan disiplin waktu yang sudah menjadi tradisinya, pasien sering meminta schedul tindakan keperawatan terhadap dirinya dan membuat perjanjian apabila terjadi perubahan kondisi (kondisi perubahan suhu yang sering naik, turun, pada pasien DHF ), pasien akan memanggil perawat untuk memeriksa suhu tubuhnya. Perawat harus memberitahu hal-hal atau tindakan yang mendadak misalnya, visite dokter tiba-tiba datang. Dalam menghadapi perubahan-perubahan kesehatan ia ingin segera mendapatkan tanggapan dari para dokter dan perawat. Apabila dia sudah di tanggapi oleh dokter dan perawat pasien merasa tenang.
Dari observasi diatas, pasien Jepang merupakan tipe Public Pain dimana rasa sakit yang mereka rasakan ingin segera ditangani dan memerlukan penjelasan atau concern dari perawat maupun dokter yang menanganinya.

2.     Masyarakat Manado

Pasien  yang dirawat dengan keluhan sakit pada area perut kanan di IGD RS PERSAHABATAN pada tanggal 8 Desember 1998. Pasien Manado ingin segera ditangani secepatnya. Karena RS Persahabatan merupakan RS pemerintah yang sarananya serba terbatas, maka sulit untuk memenuhi semua keinginan pasien. Dari segi penampilan pasien dan keluarga nampak bagus dan rapi. Pasien juga sering mengeluh dan mengerang-erang kesakitan serta memanggil-manggil perawat untuk segera ditangani.

Penjelasan dari perawat sering diabaikan dan meminta penjelasan langsung dari dokter. Setelah diberi penjelasan dari dokter, pasien malahan lebih sering mengeluh dan menuntut penatalaksanaan secepatnya tanpa memperdulikan proses penyakitnya dan prosedur penanganan karena keterbatasan alat dan tenaga, tindakan tidak bisa dilakukan dengan segera.  Keluarga pasien menyatakan complain pada pelayanan yang diberikan dan pasien dengan suara merintih meminta segera di pindahkan ke Rumah Sakit yang lebih memadai. Perawat kemudian menyarankan rujukan ke RS swasta.

Dari observasi diatas, nampak bahwa pasien Manado merupakan tipe Public Pain dimana mereka meminta perhatian yang berlebih dari perawat maupun dokter serta menginginkan yang terbaik buat mereka.

3.      Masyarakat Bali

Pasien di Rumah Sakit Sanglah Denpasar pada periode tahun 1995-1996 di beberapa ruangan rawat inap.
Pasien Bali dalam menghadapi perawatan terhadap dirinya jarang meminta perhatian lebih dari perawat atau dokter teteapi mereka akan sangat berterimakasih bila diperhatikan secara sewajarnya. Kehidupan beragama yang begitu kental membuat setiap pasien selalu meminta tempat untuk menghanturkan sesajen di samping tempat tidurnya. Jika lupa atau terlambat, mereka biasanya merasa tidak enak. Sesajen biasanya dihaturkan oleh keluarga pasien untukm meminta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.Kebersamaan adat yang kental membuat Rumah Sakit terkadang dipenuhi oleh sanak saudara dan anggota banjar (sejenis RW dengan ikatan yang kuat) dari pasien yang bersangkutan. Kehadiran sanak saudara bagi pasien merupakan suatu kebahagiaan dan kebanggaan karena disanalah kualitas hubungan si pasien dengan masyarakat komunitasnya. Bila sedikit yang datang mengunjungi malahan pasien akan sangat bersedih. Dan itu tentui akan menghambat proses kesembuhan si pasien.

Dari observasi diatas, nampak bahwa pasien Bali merupakan tipe Private Pain dimana mereka mempunyai perasaan berterimakasih yang sangat besar. Bila pasien merasa puas akan pelayanan yang diberikan kepadanya, tidak jarang pasien memberikan oleh-oleh atau hadiah kepada perawat atau dokter yang menanganinya. Bahkan setelah pasien sembuh banyak pasien menjalin hubungan yang lebih akrab dengan perawat atau dokter yang merawatnya


BAB III
BUDAYA STRESS DAN PENYAKIT

3.1      Definisi Budaya Stress dan Penyakit

          Awal terbentuknya Culture Bound Syndrome Stress dapat dialami individu atau kelompok dalam masyarakat, saat kebudayaan memberikan tekanan-tekanan baik secara langsung maupun tidak langsung.
            Stress adalah suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan yang diterima sebagai suatu hal yang mengancam, menantang serta merusak keseimbangan seseorang(Bruner:2002).
            WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang sehat dan kurang sehat jiwa di antaranya selalu diliputi oleh suasana kekhawatiran dan kegelisahan. Kemudian, ia mudah marah karena hal-hal yang sepele dan menyerang orang lain karena kemarahannya. Permusuhan, kebencian, sukar memaafkan orang lain merupakan suatu penyakit kejiwaan. Begitupun ketika tidak mampu menghadapi kenyataan hidup, tidak realistik, karenanya ia sering lari dari kenyataan dengan cara selalu menyalahkan orang lain walaupun sebenarnya sumber kesalahan adalah dirinya.
Contoh beberapa penemuan dalam studi Etnopsikiatri di Indonesia berkaitan dengan stress budaya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.         Gunawan dan Banunaek (1968) bahwa pada tahun 1964 , sebanyak 10,14% pengunjung poliklinik psikiatri di RSCM Jakarta berasal dari suku Minangkabau, dengan psikoneurosis 45,48% dan psikosomatik 15,80%. Berdasarkan kasus ini dapat disimpulkan adanya stress budaya dalam 3 bentuk, yaitu:
a.       Pertentangan antara generasi tua (nilai lama) dengan generasi muda (nilai baru).
b.      Pertentangan antara agama dan adat dengan pendidikan dan pandangan modern.
c.       Pertentangan antara adat yang dibawa dengan adat yang didatangi.
2.         Harahap (1969) melakukan penelitian komparatif mengenai kasus Etnopsikiatri di RSCM Jakarta antara suku Minangkabau dan Batak. Bahwa pada suku Batak, kasus kebanyakan adalah laki-laki, sedangkan pada suku Minangkabau kasus kebanyakan adalah wanita. Menurutnya, hal ini berkaitan erat dengan peranan laki-laki dalam kebudayaan Batak (patrilineal) dan peranan wanita dalam kebudayaan Minangkabau (matrilineal), yang merupakan sumber stress.
3.         Atmodirjo dan Salam (1969) mendiskripsikan mengenai kasus psikosis (Acute Schizoprenic Reaction) pada seorang wanita suku Batak yang berusia 21 tahun, yang baru menjalani pernikahan paksa menurut adat Tapanuli dengan seorang anak laki-laki dari saudara perempuan ayahnya (Asymmetric Cross Cousin Marriage System). Kepatuhan pada adat menimbulkan stress bagi wanita tersebut sampai pada taraf psikotik. Dengan pendekatan “Socio-cultural action” ternyata dapat menanggulangi kasus tersebut.
4.         Sukirno (1973) melaporkan tiga kasus dari keturunan Arab yang mengalami stres budaya dan memunculkan gangguan jiwa, yaitu dalam bentuk: anxietydepressive reaction, psychotic reaction, dan depressive reaction. Keturunan Arab di Indonesia telah mengalami akulturasi, namun masih kuat memegang adat-istiadat atau budaya asalnya.
5.         Gunawan (1980) mengidentifikasi beberapa kasus stress budaya pada masyarakat Irian Jaya, yang dapat memunculkan berbagai gangguan jiwa, yaitu:
a.      Urbanisasi (perubahan pola hidup).
b.      Perbedaan budaya antara penduduk pendatang dan asli.
c.       Suami-istri dengan tingkat pendidikan dan latar belakang sosio-budaya yang berbeda.
d.      Konflik antara generasi tua dan muda.
e.       Pelanggaran terhadap adat, dan  kepercayaan terhadap ilmu hitam. 

Jenis-jenis culture bound syndrome and Psychopathology yang ada di Indonesia, sebagai berikut: ( Maslim (1987 dalam Arianto 2004:5-8) )
1.            Kesurupan (umum)
Kesurupan berasal dari bahasa Jawa yang berarti kemasukan sesuatu hal yang gaib. Kesurupan memang selalu dikaitkan dengan fenomena gaib, yaitu seseorang yang kerasukan makhluk halus sehingga manusia yang kerasukan mempunyai kepribadian ganda dan mulai berbicara sebagai individu lain. Masyarakat JawaTimur misalnya selalu menggunakan bantuan para dukun atau kyai dalam mengobati seseorang yang kesurupan. Dukun atau kyai menggunakan efek sound therapy dengan membacakan suluk dan para kyai biasanya membacakan doa dalam bahasa arab. Menurut pandangan mereka suluk maupun doa mampu mengusir roh halus yang masuk dan menguasai raga dari penderita kesurupan. Foster dan Anderson (1986) menjelaskan mengenai cara pengobatan dukun (Shaman).
Beberapa contoh penelitian mengenai kesurupan adalah sebagai berikut.
a.       Prayitno dan Banunaek (1968) melaporkan kasus seorang wanita sekolah perawat gigi di Jakarta yang mengalami sakit perut, pingsan, dan tidak ingat. Sesudah sadar, ia tidak ingat kejadian tersebut dan merasa seperti dalam keadaan tidur. Kejadian ini berulang setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. 
b.      Djamaludin (1971) melaporkan mengenai fenomena hasolopan pada suku Batak di Medan, yang mirip dengan kesurupan. Fenomena semacam ini lebih sering dialami wanita dari pada pria, kebanyakan anak-anak pubertas, terjadi pada semua strata sosial, perasaan frustasi dan depresi. Penderita seolah-olah hidup dalam dua dunia (gaib dan nyata). 
2.            Bebainan ( Bali )
Bebainan adalah kemasukkan “bebai“, yaitu roh yang dapat menguasai manusia, menyakiti, atau membunuh. Bebai diperoleh dengan pemeliharaan dari kecil sampai dewasa, kemudian siap dipakai oleh yang memelihara. Yang dapat mengobati bebainan adalah “balian“ (dukun). Gejalanya adalah perubahan kesadaran, tingkah laku agitatif yang terjadi mendadak, disertai kebingungan, halusinasi dan gejolak emosi. Episode ini cepat menghilang dan disertai periode amnesia.
Contoh penelitian mengenai bebainan adalah dari Suryani (1981) mengenai fenomena bebainan di beberapa desa di Bali. Suryani melaporkan bahwa lebih sering wanita usia muda atau belum kawin pernah mengalami bebainan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh hari raya Bali dan stress emosional.
3.            Cekik ( Jawa Tengah )
Cekik adalah suatu histeria konversi dengan kejang–kejang seluruh badan dan kesadaran menurun, sebelum jatuh kejang selalu menunjukkan seperti orang tercekik lehernya. Sebagian besar mengalami halusinasi visual menjelang atau saat serangan. Terjadi di desa Babalan, kecamatan Wedung, kabupaten Demak, Jawa Tengah, pada setiap tahun dalam bulan puasa menjelang lebaran. Santoso dan Pranowo menyebutnya sebagai “sindroma tekak“. Contoh penelitian mengenai cekik ini adalah penelitian Sumitro (1981) di desa Babalan, dan melaporkan bahwa wanita lebih sering mengalami cekik dari pada pria, hampir merata pada umur dewasa, tingkat pendidikan dan sosial-ekonomi rendah, serta berhubungan dengan kepercayaan mistik bahwa roh halus akan mengambil orang-orang tertentu di desa. Ternyata epidemi ini hilang dengan sendirinya sesudah bulan Puasa terlewati.
Masyarakat lokal Demak manganalisa fenomena cekik sebagai gangguan dari hantu cekik yang muncul setahun sekali. Analisa tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan penyakit-penyakit gangguan kejiwaan akibat budaya.
4.            Koro ( Sulawesi Selatan )
Koro adalah sindroma anxietas yang mendadak sampai dengan panik disebabkan oleh adanya waham bahwa alat kelaminnya akan mengkerut masuk dan menghilang ke dalam tubuhnya sehingga dirinya akan mati, pada umumnya terjadi pada laki–laki. Orang itu berusaha mencegah dengan cara memegang erat– erat alat kelaminnya atau mengikat dengan tali, kalau perlu minta bantuan orang lain memegang alat kelaminnya secara terus menerus.

3.2     Tingkat Stress
Menurut Stuart dan Laraia (2005),ada tiga macam tingkatan stress antara lain:
1.      Stress ringan
Berhubungan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Dapat memotivasi individu dan mampu memecahkan masalah secara efektif.
2.      Stress sedang
Memungkinkan individu berfokus pada hal-hal yang penting.
3.      Stress berat
Individu cenderung pada suatu objek yang dapat mengurangi ketegangan.

3.3     Konsep Mekanisme Personal Copying
 Mekanisme personal copying adalah reaksi individu ketika menghadapi suatu tekanan atau stress dan bagaimana individu tersebut menanggulangi stress yang dihadapi.
Sumber personal copying terdiri dari tehnik pertahanan, dukungan sosial, motivasian kemampuan dalam memecahkan masalah, kesehatan fisik, dukungan spiritual, sumber materi dan sosial.
Keyakinan spiritual dan pandangan seseorang yang positif dapat ditujukan sebagai dasar dari harapan dan dapat membenarkan upaya personal copying seseorang dalam keadaan yang paling merugikan.
Stuart, (2005) menyebutkan ada 4 karakteristik mekanisme personal copying yang tidak efektif,diantaranya:
1.      Menyatakan ketidakmampuan.
2.      Tidak mampu untuk menyelesaikan masalah secara efektif.
3.      Perasaan cemas, takut, marah dan tegang.

4.      Tidak mampu memenuhi kebutuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

About