Selasa, 26 Agustus 2014

MUTU LAYANAN KESEHATAN

PERKEMBANGAN KONSEP MUTU LAYANAN KESEHATAN
Peningkatan akses ke dan mutu layanan kesehatan menjadi lebih diperhatikan di Indanesia. Dengan perkembangan ekonomi negara yang stabil, kebutuhan terhadap layanan kesehatan yang baik makin meningkat. Skenario kesehatan di Indanesia yang dinamis, semakin membaik selama dua de­kade terakhir. Salah satu perubahan yang terjadi selama. beberapa tahun terakhir adalah perubahan dalam situasi keterse­diaan sumber daya manusia di sektor ke­sehatan. Selama beberapa dekade awal setelah kemerdekaan, kondisi kekurangan dokter mengakibatkan pemerintah menja­lankan suatu kebijakan yang mewajibkan semua lulusan kedokteran untuk langsung melayani masyarakat. Namun, suplai dok­ter yang secara perlahan melebihi permin­taan, menimbulkan situasi yang menyebab­kan pemerintah merevisi kebijakannya dan sekarang menugaskan semua mahasiswa kedokteran yang baru lulus untuk terlebih dulu melayani puskesmas menurut kontrak selama periode tiga tahun.
Ketersediaan petugas kesehatan di layanan medis swasta semakin meningkat. Walaupun terjadi per­saingan dalam jumlah dokter di sektor publik dan swasta, kebutuhan atas layanan kesehatan masyarakat yang bermutu makin menguat.
Sistem Kesehatan Nasional telah membangun jaringan kerja antara puskesmas pembantu, puskesmas, dan ru­mah sakit di semua kabupaten Indanesia agar akses ke layanan kesehatan dapat terjamin.

GERAKAN MUTU PADA RUMAH SAKIT DI INDANESIA

Saat ini, program mutu rumah sakit di indonesia telah mengalami banyak per­ubahan yang menguntungkan pasien dan penyedia layanan. Mutu yang membaik telah membuat persepsi tentang layanan rumah sakit semakin bogus dalam pan­dangan pasien, yang selanjutnya, mengakibatkan peningkatan penggunaan jasa rumah sakit sehingga pendapatan yang diterima rumah sakit semakin banyak.

PROGRAM AKREDITASI RUMAH SAKIT
Sistem Kesehatan Nasional tahun 1982 menyatakan bahwa "instrumen untuk peng­akreditasian rumah sakit perlu dibuat dalam waktu dekat, instrumen itu diguna­kan dalam perumusan kebijakan

KEGIATAN PERBAIKAN MUTU PADA KELUARGA BERENCANA
Kegiatan perbaikan mutu keluarga be­rencana resmi yang pertama diprakarsai oleh AVSC (Acces to Voluntary and Safe Contraception) bersama PKMI (Perkumpul­an Kontrasepsi Mantap Indanesia) pada tahur, 1983. Kegiatan tersebut hanya ber­Fokus pada sterilisasi sukarela sebagai pen­dekatan "jaminan mutu". Sistem jamina­mutu tersebut terdiri atas berbagai standc­untuk pemberian layanan, kunjungan su­pervisi klinik sterilisasi sukarela setiap tiga bulan, dan penggunaan daftar tilik (check­list). Sistem jaminan mutu tampak sebagc suatu cara untuk memantau penyediac­layanan di semua lokasi klinik yang baru dikembangkan serta untuk menangar tingginya insidens mortalitas dan morbi­ditas. Saat ini, PKMI mengelola pertemuar nasional QA selama 3 hari sebagai bagic­dari proyek bilateral. bersama BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). Konsep umum QA didiskusikan rneliputi berbagai kegiatan QA di Indanesia Di tahun 1988, PKMI menyiapkan bebe­rapa dokumen untuk sterilisasi sukarela, sistem QA, termasuk formulir pelaporan khusus dan komponen perbaikan mutu internal. Semua rumah sakit yang merupa­kan bagian dari sistem dianjurkan meng­adakan pertemuan bulanan untuk mendiskusikan berbagai masalah mutu dan menentukan penyelesaiannya.
BKKBN mengembangkan sistem QAnya mulai tahun 1988 untuk menjangkau seluruh 27 propinsi. Di tahun 1990, proyek Keluarga Berencana di Sektor Swasta mulai dilaksanakan dengan komponen QA. Sa­lah satu tujuan proyek ini adalah untuk memperkuat organisasi profesional dalam bidang mutu, termasuk Ikatan Bidan Indanesia (IBI). Pada tahun 1990-1993, BKKBN menyelenggarakan studi Indikator Mutu. BKKBN bersama Badan Kependu­dukan mensponsori pertemuan internasio­nal tentang Mutu Pelayanan di Bandung tahun 1992 yang dihadiri oleh. 10 negara dari Asia dan Timur Tengah. Dalam mem­persiapkan pertemuan tersebut, BKKBN menyelenggarakan pertemuan nasional pada bulan Desember 1991 untuk menca­pai suatu kesepakatan mengenai arti mutu layanan di Indanesia. Berbagai macain organisasi dan peserta menghadiri perte­muan nasional tersebut yang menghasilkan diskusi segar tentang teori dan praktik mutu layanan program keluarga berencana di Indanesia. Sekitar tahun 1991-1993, BKKBN menjalankan program Siklus Mutu­nya (Gugus Mandala Mutu,GMM) bagi para stafnya sebagai bagian dari kam­panye di seluruh pemerintahan. Tahun 1993, Proyek Mutu Layanan mulai di­laksanakan dan proyek itu membantu da­lam: (1) membudt sejumlah besar materi mutu layanan yang mudah diperoleh da­lam bahasa Indanesia; (2) memulai dan memelihara komunikasi antara BKKBN, Depkes, dan berbagai LSM yang terkait dengan mutu layanan, dan (3) mendanai dua studi penelitian yang menangani ma­salah mutu layanan nonklinis dasar. Proyek itu membantu beberapa biro BKKBN (Biro Pelayanan Kontraseptif, Biro Penelitian Bio Medis) untuk memulai pengembangan kon­sep, dokumen, dan model QA mereka sen­diri.
Di tahun 1994, terdapat terobosan besar dalam bidang QA, yaitu pembentuk­an panitia pengarah nasional untuk pening­katan mutu keluarga berencana, yaitu Panitia Peningkatan Mutu Nasional, di BKKBN. Para anggota panitia pengarah nasional tersebut meliputi Wakil Menteri Pembangunan dan Sumber Daya Manusia (Pelatihan dan Penelitian) sebagai kepala, pejabat dari BKKBN, beberapa anggota dari Departemen Kesehatan, perkumpulan profesional dan Konsorsium untuk Ilmu Kesehatan. BKKBN mengalami kemajuan pesat dalam bidang QA dan sekarang berada di bawah bantuan proyek donor yang melakukan penelitian baru dalam bi­dang mutu dan melaksanakan strategi mutu yang dapat diterapkan secara nasional.

PENGALAMAN NYATA DI BIDANG QA PADA PUSKESMAS DARI TIGA DAERAH STUDI
Program QA di Indanesia secara bertahap menjadi lebih berperan dalam memacu dan mendukung.para petugas agar mereka memperbaiki sejumlah proses yang menja­di tugas mereka dan tidak sekadar meng­ikuti standar yang sudah baku (meskipun penyusunan standar yang seragam adalah komponen penting program QA di Indanesia). Artinya, program QA berperan untuk membantu para petugas dalam me­rancang standar kinerja yang realistis se­suai tatanan setempat dan untuk memantau kemajuan mereka. Pada kenyataannya, QA di Indanesia merupakan pendekatan identifikasi masalah dan pendekatan pe­mecahan masalah, yang mengaitkan per­baikan mutu dengan penilaian kinerja terus-menerus. Program QA awalnya dija­lankan oleh tim dari berbagai bidang ilmu yang mengidentifikasi satu atau beberapa masaldti. Dengan menggunakan berLagai metode analisis, tim tersebut menyidentifi­kasi penyebab masalah dan menyusun tindakan untuk memperbaiki situasi. Pada waktu yang bersamaan tim tersebut memantau pelaksanaan tindakan perbaikan untuk mendapatkan standar dan akhirnya merumuskan standar kinerja berdasarkan informasi terbaru, teknologi, dan permintaan klien. Proses tersebut diulangi untuk mengidentifikasi masalah, menemukan penyebab masalah, menerapkan tindakan untuk mengatasinya dan akhirnya kembali memantau hasilnya, sehingga perbaikan mutu total yang berkelanjutan dapat tercapai.


Referensi
(Al-Assaf, A.F. 2009 Mutu Pelayanan Kesehatan, EGC, Jakarta)

Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Dasar-dasar Kesehatan dan Keselamatan Kerja
World Health Organization (2008) menyebutkan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja merupakan penerapan percabangan ilmu dalam kelompok keilmuan kesehatan lingkungan. Di berbagai perguruan tinggi, divisi, bagian atau Departemen Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan dan Keselamatan Kerja disatukan dengan bagian atau divisi Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja. Hal tersebut dimaksud untuk efisiensi infrastruktur pendidikan yang memiliki banyak kesamaan, baik dalam keilmuan maupun penerapannya. Kesehatan dan Keselamatan Kerja sangat diperlukan dan berkembang subur pada sebuah masyarakat industri atau masyarakat yang sebagian besar pekerjannya bekerja pada sektor industri terutama pada nehara-negara yang sedang memasuki fase industrialisasi.
Sifat dari keilmuan dan penerapan bidang kesehatan dan keselamatan kerja yang bersifat multidisiplin, di banyak negara bahkan di tingkat dunia selalu ada komitmen yang merumuskan, mengembangkan dan menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja sebagai suatu join force yang harus diatur secara bersama. Di tingkat dunia, ada join komite antara WHO yang mengurusi masalah kesehattan dan ILO (International Labor Organisation) yang mengurus tenaga kerja untuk mendukung produktivitas dan perekonomian umat manusia.
Pada awal fase industrialisasi biasanya sebuah negara mengutamakan penyerapan tenaga kerja, sehingga jenis industri yang dipilih adalah seperti industri garmen, industri micro chips, Industri pertambangan, dan lain sebagainnya. Pada fase post industrial countries atau pascaindustri, masyarakat menginginkan industri padat modal, less hazardous and less pollution. Otomatisasi mesin menggantikan masin-mesin yang manual, sehingga penyakit yang berhubungan dengan lingkungan pekerjannya semakin berkurang. Untuk mengontrol mesin yang bising dan penuh uap berbahaya, cukup memerhatikan panel instrumen pengendali yang kedap suara, serta menggunakan instrumen pemantau terpisah (remote). Hanya sesekali kalau diperlukan mengontrol kondisi dekat mesin-mesin yang terpasang itu pun harus mengenakan alat-alat pelindung. Pada sektor industri formal yang padat modal, milik multinational companies menerapkan persyaratan-persyaratan yang secara ketea harus dipenuhi dan dipatuhi. Aspek kesehatan masyarakat terbatas pada kelompok-kelompok atau unit-unit pekerja dalam ruang industri yang terbatas dan secara teoritis terkontrol. Bahkan penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K-3) pada beberapa jenis sifatnya instruktif dengan penerapan disiplin yang ketat perlindungan kelompok tenaga kerja dilakukan tanpa memerlukan pendekatan persuasif sebagaimana lazimnya dalam bidang kesehatan masyarakat.
Permasalahan dan aplikasi pendekatan kesehatan masyarakat menjadi relevan pada jenis industri kecil dan sektor informal. Diketahui bahwa industri kecil dan sektor informal bercampur di antara pemukiman. Tempat kerja atau lingkungan kerja pada industri dan usaha kecil dan menengah atau SME small and medium enterprises adalah juga tempat tinggal. Potensi bahaya lingkungan kerja adalah bahaya anak-anak balita dan ibu-ibu hamil. Di Brebes Jawa Tengah 22% wanita usia subur dan anak-anak sekolah menderita goiter atau hipotiroid berkaitan dengan penggunaan agrokimia secara massives (Suharto, 2012) yang merupakan keluarga petani bawang merah. Proses kerja mbrodoli bawang yang bercampur pestisida dilakukan di rumah, debu pestisida memberikan ancaman terhadap pekerja dan keluargannya. Domain keahlian dan objek keilmuan kesehatan keselamatan lingkungan rancu dengan domain kesehatan dan keselamatan kerja. Keduanya concern kepada potensi bahaya kesehatan dari lingkungan rumah tempat tinggal yang merangkap tempat kerja.

Filosofi Dasar Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Manusi hidup dan sehat terus bergerak dan dapat dipastikan melakukan sesuatu pekerjaan, termasuk ibu rumah tangga yang bekerja di dapur, yang juga pekerja industri. Seorang ibu pekerja, yang termasuk kelompok wanita usia subur akan terpajan tiga lingkungan, yakni lingkungan rumah dan pemukiman, lingkungan udara yang tercemar di perjalanan dan lingkungan kerja sekaligus. Ketiganya tentu memiliki potensi bahaya kesehatan dan keselamatan kerja. Asap kompor mengeluarkan polutan misalnya karbonmonoksida yang merupakan potensi bahaya lingkungan kerja di dapur dan sekaligus memiliki potensi kebakaran dan meledak. Bedanya kalau bekerja di dapur menjadi ranah kesehatan lingkungan kalau bekerja di kantor atau sebuah industri menjadi ranah kesehatan dan keselamatan kerja. Intensitas pajanan (exposure) juga berbeda.
Secara keilmuan dapat saja dibedakan antara domain keilmuan kesehatan lingkungan dengan kesehatan kerja. Ilmu kesehatan lingkungan mempelajari hubungan interaktif antara manusia dengan genomic status dan perilakunya dengan lingkungan yang berpotensi bahaya kesehatan sedangkan inti domain kesehatan kerja mempelajari hubungan tiga kelompok variabel, yakni beban kerja (jenis pekerjaan), kapasitas kerja, dan lingkungan kerja (Achmadi, 1991). Beban kerja bisa fisik maupun non-fisik seperti pikiran, menulis, melakukan tindakan manajemen dan lain sebagainya. Untuk bekerja secara sehat, diperlukan kemampuan sesuai bidang tugas dan pekerjaannya, untuk itulah diperlukan pelatihan untuk jenis pekerjaan tertentu serta pemeriksaan kesehatan awal sebelum bekerja, untuk mendukung tugas dan pekerjaannya. Tanpa pelatihan dan pemahaman terhadap lingkungan pekerjaannya, akan terjadi kesenjangan (gap) antara kapasitas kerja dan beban pekerjaannya, sehingga menimbulkan bahaya penyakit akibat kerja dan kecelakaan (kesehatan dan keselamatan kerja). Kesesuaian antara beban jkerja dengan alat-alat kerjannya, kapasitas kerja dan lingkungan kerja harus memenuhi kriteria dan persyaratan Gangguan keseimbangan ketiganya dipelajari dalam kesehatan kerja, dan apabila kejadian tersebut bersifat akut dan mendadak menjadi masalah-masalah kerja. Domain kesehatan kerja juga sarat dengan peraturan perundangan harus dipelajari, dan hal itu semua ditunjukan untuk kepentingan kesehatan kerja untuk mendukung produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Kesehatan lingkungan mempelajari hubungan interaktif antara manusia (tanpa membedakan gender, umur, pendidikan, dan lain-lainnyaa) di mana dalam tubuh manusia seutuhnya terdapat genetic factors dan fenotipe perilakunya dengan linkunganya yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia tersebut. Dalam hal potensi bahaya atau faktor resiko, kedua bidang mempelajari hal yang sama. Nemun berbeda dalam manajemen, persyaratan lingkungan, serta peraturan perundang undangan yang mendukungnya.
Pekerjaan di dapur tidak memiliki aspek tujuan ekonomi, tidak memerhatikan aspek kapasitas kerja, tidak memerlukan pelatihan dan tidak ada kompensasi, ataupun kontrak kerja yang menjadikan hak untuk mendapatkan alat keselamatan kerja serta pengobatan penyakit akibat kerja di dapur rumah tangga. Domain atau ranah kesehatan lingkungan, hanya memerhatikan aspek persyaratan keselamatan rumah tangga, aspek persyaratan rumah sehat dengan ventilasi cukup, serta sesekali dilakukan penyuluhan keselamatan rumah tangga. Secara keseluruahn yang dipelajari oleh domain kesehatan lingkungan adalah dasar-dasar hubungan interaktif antara lingkungan dengan manusia, kesehatan kerja merupakan penerapannya di lingkungan (setting-tempat) kerja. Untuk lingkungan kerja doberlakukan syarat dengan peraturan perundangan yang merupakan pedoman baik untuk tenaga kerja maupun pemilik modal melindungi menjaga agar tetap sehat. Selain itu, dalam lingkup kesehatan dan keselamatan kerja, juga memerhatikan jenis beban pekerjaannya. Jenis atau beban kerja itu sendiri, memiliki potensi bahaya penyakit atau risiko kesehatan.
Beberpa potensi bahaya lingkungan kerja dapat pula leakage (merembes) atau berbentuk ledakan atau kebakaran ke luar wilayah kerja, dan hal ini akan menimbulkan masalah kesehatan lingkungan masyarakat sekitarnya. Bencana lingkungan yang secara mendadak baik secara alamiah maupun kegiatan industri dan pertambangan, dipelajari pula dalam keselamatan lingkungan (environmental safety).
Dengan demikian, tidak mengeherankan kalau di berbagai perguruan tinggi, kedunya dijadikan satu untuk menghemat sumber daya dan infrastruktur. Ahli toksikologi lingkungan, ahli kesehatan lingkungan fisik seperti kebisingan, radiasi meneliti dan memberikan materi pelajaran pada kedua mahasiswa peminatan. Demikian pula labolatorium yang dimilikinya banyak kesamaan.
Sebagai ilmu yang bermanfaat multidisiplin, keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan untuk memperkecil atau menghilangkan hazards, potensi bahaya atau risiko atau lingkungan yang berpotensi bahaya kesehatan kecelakaan dan kerugian yang mungkin terjadi. Kerangka konsep berpikir keselamatan dan kesehatan kerja adalah menghilangkan atau meminimalisir risiko sakit dan celaka. Kesehatan kerja sebagaimana kesehatan lingkungan adalah ilmu substantive yang mengidentifikasi permasalahan kesehatan. Selanjutnya penerapan solusi dari permasalahan kesehatan kerja, dapat menggunakan pendekatan kesehatan masyarakat yakni, berbasis masyarakat (tenaga) kerja, berorientasi pencegahan, kerja sama dengan divisi atau unit organisasi lain dalam lingkup organisasi industri atau wilayah setempat, partisipasi masyarakat pekerja, dan teorganisasi. Namun sering kali pula, kesehatan dan keselamatan kerja tidak memerlukan pendekatan kesehatan masyarakat.

Dalam rangka menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja diperlukan juga perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan/pengendalian secara baik dan benar. Dalam hubungan inilah diperlukanmanajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Manajemen keelamatan dan kesehatan kerja pola pikir dan berbagai pendapat yang ada diintegrasikan ke dalam seluruh kegiatan operasional sebuah industri agar dapat berproduksi dengan cara yang sehat dan aman, efisien serta menghasilkan produk yang sehat dan aman pula serta tidak menimbulkan dampak lingkungan yang tidak diinginkan.

Referensi :
( Achmasi, Umar Fahmi 2013, Kesehatan Masyarakat Teori Dan Aplikasi , RajaGrafindo Persada, Depok)

CUPLIKAN TEORI KESEHATAN MASYARAKAT


Paradigma Kesehatan Lingkungan
Achmadi pada tahun 1987, 2005, 2011, 2012 menggambarkan paradigma kesehatan lingkungan dalam buku-bukunya sebagai acuan untuk mengemukakan proses kejadian penyakit berbasis lingkungan yang merupakan inti dari permasalahan kesehatan. Konsep model penggambaran tersebut disebut Paradigma Kesehatan Lingkungan ata lebih sering disebut sebagai teori simpulan. Teori Simpulan atau Paradigma Kesehatan Lingkungan menggambarkan definisi kesehatan lingkungan yaitu, ilmu yang mempelajari hubungan interaktif antara variabel kependudukan dengan variabel lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan, serta mencari upaya penyehatan.
Paradigma Kesehatan Lingkungan juga dapat menggambarkan pathogenesis kejadian penyakit. Gambaran model interaksi lingkungan dengan manusia, dapat digunakan untuk upaya pencegahan, dapat menentukan pada titik mana atau simpul mana kita bisa lakukan pencegahan. Tanpa memahami paradigma kesehatan lingkungan sulit dapat melakukan pencegahan. Mengacu kepada model interaksi manusia  dengan lingkungannya, maka gangguan kesehatan merupakan resultan dari hubungan interaktif antara lingkungan dan variabel kependudukan.
Paradigma Kesehatan Lingkungan digambarkan (Achmadi, 1987; Achmadi, 1991) pada Gambar  berikut :


Referensi :

( Achmasi, Umar Fahmi 2013, Kesehatan Masyarakat Teori Dan Aplikasi , RajaGrafindo Persada, Depok)

Sabtu, 15 Februari 2014

7 Kelompok Tenaga Kesehatan

a. tenaga medis                          ;  Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
b. tenaga keperawatan                ;  Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
c. tenaga kefarmasian                 ;  Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
d. tenaga kesehatan masyarakat  ;  Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
e. tenaga gizi                             ;  Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
f. tenaga keterapian fisik            ;  Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
g. tenaga keteknisian medis        ;  Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.



 (Menurut : PP. No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan )

Senin, 20 Januari 2014

Makalah Antropologi Kesehatan Tingkah Laku Sakit

BAB I
PENDAHULUAN
1.1                  LATAR BELAKANG

Tingkah laku sakit, Peranan sakit dan peranan pasien sangatlah di pengaruhgi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya, maka ancaman kesehatan yang sama tergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda dari kalangan pasien.
Tingkah laku sakit adalah cara-cara dimana gejala di tanggapi, di evaluasi dan di perankan oleh seseorang yang mengalami sakit.
Budaya stress dan penyakit dapat di alami individu atau kelompok dalam masyarakat, saat kebudayaan memberikan tekanan-tekanan baik secara langsung atau tidak langsung. seperti sebuah kebudayaan yang melalui aturan serta sangsi yang membuat para penganutnya terikat kedalam dan tidak memungkinkan penganutnya untuk bertindak diluar from baku yang telah di tetapkan. Oleh karena itu, kita patut dan wajib mempelajari dan memahaminya di dalam kehidupan sehari-hari, tentu akan jauh lebih mudah dan dimengerti.

1.2                 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana cara mengidentivikasi orang yang memiliki tingkah laku sakit, stress dan penyakit ?

1.3     TUJUAN
Berdasarkan latar belakang dan masalah di atas, Kami membuat makalah ini dengan tujuan untuk menjelaskan Tingkah Laku Sakit dan Budaya Stress dan Penyakit.


BAB II
TINGKAH LAKU SAKIT

2.1     Definisi Tingkah Laku Sakit

            Dalam mempelajari tingkah laku sakit, penting bagi kita untuk mengingat pesan Von Mering, bahwa”studi yang mengenai makhluk manusia yang sakit berperan bahwa setiap individu hidup dengan gejala-gejala maupun konsekuensi penyakit, dalam aspek-aspek fisik, mental, aspek budaya dan aspek sosialnya. Untuk meringankan penyakitnya, si sakit terlibat dalam rangkaian proses pemecahan masalah yang bersifat internal maupun eksternal baik yang spesifik maupun yang non spesifik”(Von Mering 1970:1972-273).

Ciri-ciri orang yang bertingkah laku sakit:
1.      Merasa kurang enak badan.
2.      Fungsi tubuh yang kurang baik.
3.      Kurangnya nafsu makan.
4.      Suhu tubuh tidak normal,dll.
Tingkah laku sakit dapat terjadi tanpa peranan sakit dan peranan pasien. Seseorang dewasa yang baru bangun tidur dengan leher sakit menjalankan peranan sakit, maka ia harus memutuskan apakah ia akan minum obat dan mengharapkan kesembuhan atau memanggil dokter. Namun demikian, ini bukanlah tingkah laku sakit hanya apabila penyakit itu telah didefinisikan secara cukup serius sehingga menyebabkan seseorang tersebut tidak dapat melakukan sebagian atau seluruh peranan normalnya yang berarti mengurangi dan memberikan tuntutan atas tingkah laku peranan orang-orang disekelilingnya, maka barulah dikatakan bahwa seseorang itu melakukan peranan sakit.
Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, suku bangsa, dan budaya yang berlaku disuatu tempat.
Contoh tingkah laku sakit, sebagai berikut:
1.     Bangsa Jepang

pada periode 1996-1998 di RS Medistra Jakarta pada beberapa pasien berwarga Negara Jepang. Tampak pasien segera berespon dengan perubahan sakit yang terjadi pada dirinya. Sesuai dengan disiplin waktu yang sudah menjadi tradisinya, pasien sering meminta schedul tindakan keperawatan terhadap dirinya dan membuat perjanjian apabila terjadi perubahan kondisi (kondisi perubahan suhu yang sering naik, turun, pada pasien DHF ), pasien akan memanggil perawat untuk memeriksa suhu tubuhnya. Perawat harus memberitahu hal-hal atau tindakan yang mendadak misalnya, visite dokter tiba-tiba datang. Dalam menghadapi perubahan-perubahan kesehatan ia ingin segera mendapatkan tanggapan dari para dokter dan perawat. Apabila dia sudah di tanggapi oleh dokter dan perawat pasien merasa tenang.
Dari observasi diatas, pasien Jepang merupakan tipe Public Pain dimana rasa sakit yang mereka rasakan ingin segera ditangani dan memerlukan penjelasan atau concern dari perawat maupun dokter yang menanganinya.

2.     Masyarakat Manado

Pasien  yang dirawat dengan keluhan sakit pada area perut kanan di IGD RS PERSAHABATAN pada tanggal 8 Desember 1998. Pasien Manado ingin segera ditangani secepatnya. Karena RS Persahabatan merupakan RS pemerintah yang sarananya serba terbatas, maka sulit untuk memenuhi semua keinginan pasien. Dari segi penampilan pasien dan keluarga nampak bagus dan rapi. Pasien juga sering mengeluh dan mengerang-erang kesakitan serta memanggil-manggil perawat untuk segera ditangani.

Penjelasan dari perawat sering diabaikan dan meminta penjelasan langsung dari dokter. Setelah diberi penjelasan dari dokter, pasien malahan lebih sering mengeluh dan menuntut penatalaksanaan secepatnya tanpa memperdulikan proses penyakitnya dan prosedur penanganan karena keterbatasan alat dan tenaga, tindakan tidak bisa dilakukan dengan segera.  Keluarga pasien menyatakan complain pada pelayanan yang diberikan dan pasien dengan suara merintih meminta segera di pindahkan ke Rumah Sakit yang lebih memadai. Perawat kemudian menyarankan rujukan ke RS swasta.

Dari observasi diatas, nampak bahwa pasien Manado merupakan tipe Public Pain dimana mereka meminta perhatian yang berlebih dari perawat maupun dokter serta menginginkan yang terbaik buat mereka.

3.      Masyarakat Bali

Pasien di Rumah Sakit Sanglah Denpasar pada periode tahun 1995-1996 di beberapa ruangan rawat inap.
Pasien Bali dalam menghadapi perawatan terhadap dirinya jarang meminta perhatian lebih dari perawat atau dokter teteapi mereka akan sangat berterimakasih bila diperhatikan secara sewajarnya. Kehidupan beragama yang begitu kental membuat setiap pasien selalu meminta tempat untuk menghanturkan sesajen di samping tempat tidurnya. Jika lupa atau terlambat, mereka biasanya merasa tidak enak. Sesajen biasanya dihaturkan oleh keluarga pasien untukm meminta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.Kebersamaan adat yang kental membuat Rumah Sakit terkadang dipenuhi oleh sanak saudara dan anggota banjar (sejenis RW dengan ikatan yang kuat) dari pasien yang bersangkutan. Kehadiran sanak saudara bagi pasien merupakan suatu kebahagiaan dan kebanggaan karena disanalah kualitas hubungan si pasien dengan masyarakat komunitasnya. Bila sedikit yang datang mengunjungi malahan pasien akan sangat bersedih. Dan itu tentui akan menghambat proses kesembuhan si pasien.

Dari observasi diatas, nampak bahwa pasien Bali merupakan tipe Private Pain dimana mereka mempunyai perasaan berterimakasih yang sangat besar. Bila pasien merasa puas akan pelayanan yang diberikan kepadanya, tidak jarang pasien memberikan oleh-oleh atau hadiah kepada perawat atau dokter yang menanganinya. Bahkan setelah pasien sembuh banyak pasien menjalin hubungan yang lebih akrab dengan perawat atau dokter yang merawatnya


BAB III
BUDAYA STRESS DAN PENYAKIT

3.1      Definisi Budaya Stress dan Penyakit

          Awal terbentuknya Culture Bound Syndrome Stress dapat dialami individu atau kelompok dalam masyarakat, saat kebudayaan memberikan tekanan-tekanan baik secara langsung maupun tidak langsung.
            Stress adalah suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan yang diterima sebagai suatu hal yang mengancam, menantang serta merusak keseimbangan seseorang(Bruner:2002).
            WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang sehat dan kurang sehat jiwa di antaranya selalu diliputi oleh suasana kekhawatiran dan kegelisahan. Kemudian, ia mudah marah karena hal-hal yang sepele dan menyerang orang lain karena kemarahannya. Permusuhan, kebencian, sukar memaafkan orang lain merupakan suatu penyakit kejiwaan. Begitupun ketika tidak mampu menghadapi kenyataan hidup, tidak realistik, karenanya ia sering lari dari kenyataan dengan cara selalu menyalahkan orang lain walaupun sebenarnya sumber kesalahan adalah dirinya.
Contoh beberapa penemuan dalam studi Etnopsikiatri di Indonesia berkaitan dengan stress budaya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.         Gunawan dan Banunaek (1968) bahwa pada tahun 1964 , sebanyak 10,14% pengunjung poliklinik psikiatri di RSCM Jakarta berasal dari suku Minangkabau, dengan psikoneurosis 45,48% dan psikosomatik 15,80%. Berdasarkan kasus ini dapat disimpulkan adanya stress budaya dalam 3 bentuk, yaitu:
a.       Pertentangan antara generasi tua (nilai lama) dengan generasi muda (nilai baru).
b.      Pertentangan antara agama dan adat dengan pendidikan dan pandangan modern.
c.       Pertentangan antara adat yang dibawa dengan adat yang didatangi.
2.         Harahap (1969) melakukan penelitian komparatif mengenai kasus Etnopsikiatri di RSCM Jakarta antara suku Minangkabau dan Batak. Bahwa pada suku Batak, kasus kebanyakan adalah laki-laki, sedangkan pada suku Minangkabau kasus kebanyakan adalah wanita. Menurutnya, hal ini berkaitan erat dengan peranan laki-laki dalam kebudayaan Batak (patrilineal) dan peranan wanita dalam kebudayaan Minangkabau (matrilineal), yang merupakan sumber stress.
3.         Atmodirjo dan Salam (1969) mendiskripsikan mengenai kasus psikosis (Acute Schizoprenic Reaction) pada seorang wanita suku Batak yang berusia 21 tahun, yang baru menjalani pernikahan paksa menurut adat Tapanuli dengan seorang anak laki-laki dari saudara perempuan ayahnya (Asymmetric Cross Cousin Marriage System). Kepatuhan pada adat menimbulkan stress bagi wanita tersebut sampai pada taraf psikotik. Dengan pendekatan “Socio-cultural action” ternyata dapat menanggulangi kasus tersebut.
4.         Sukirno (1973) melaporkan tiga kasus dari keturunan Arab yang mengalami stres budaya dan memunculkan gangguan jiwa, yaitu dalam bentuk: anxietydepressive reaction, psychotic reaction, dan depressive reaction. Keturunan Arab di Indonesia telah mengalami akulturasi, namun masih kuat memegang adat-istiadat atau budaya asalnya.
5.         Gunawan (1980) mengidentifikasi beberapa kasus stress budaya pada masyarakat Irian Jaya, yang dapat memunculkan berbagai gangguan jiwa, yaitu:
a.      Urbanisasi (perubahan pola hidup).
b.      Perbedaan budaya antara penduduk pendatang dan asli.
c.       Suami-istri dengan tingkat pendidikan dan latar belakang sosio-budaya yang berbeda.
d.      Konflik antara generasi tua dan muda.
e.       Pelanggaran terhadap adat, dan  kepercayaan terhadap ilmu hitam. 

Jenis-jenis culture bound syndrome and Psychopathology yang ada di Indonesia, sebagai berikut: ( Maslim (1987 dalam Arianto 2004:5-8) )
1.            Kesurupan (umum)
Kesurupan berasal dari bahasa Jawa yang berarti kemasukan sesuatu hal yang gaib. Kesurupan memang selalu dikaitkan dengan fenomena gaib, yaitu seseorang yang kerasukan makhluk halus sehingga manusia yang kerasukan mempunyai kepribadian ganda dan mulai berbicara sebagai individu lain. Masyarakat JawaTimur misalnya selalu menggunakan bantuan para dukun atau kyai dalam mengobati seseorang yang kesurupan. Dukun atau kyai menggunakan efek sound therapy dengan membacakan suluk dan para kyai biasanya membacakan doa dalam bahasa arab. Menurut pandangan mereka suluk maupun doa mampu mengusir roh halus yang masuk dan menguasai raga dari penderita kesurupan. Foster dan Anderson (1986) menjelaskan mengenai cara pengobatan dukun (Shaman).
Beberapa contoh penelitian mengenai kesurupan adalah sebagai berikut.
a.       Prayitno dan Banunaek (1968) melaporkan kasus seorang wanita sekolah perawat gigi di Jakarta yang mengalami sakit perut, pingsan, dan tidak ingat. Sesudah sadar, ia tidak ingat kejadian tersebut dan merasa seperti dalam keadaan tidur. Kejadian ini berulang setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. 
b.      Djamaludin (1971) melaporkan mengenai fenomena hasolopan pada suku Batak di Medan, yang mirip dengan kesurupan. Fenomena semacam ini lebih sering dialami wanita dari pada pria, kebanyakan anak-anak pubertas, terjadi pada semua strata sosial, perasaan frustasi dan depresi. Penderita seolah-olah hidup dalam dua dunia (gaib dan nyata). 
2.            Bebainan ( Bali )
Bebainan adalah kemasukkan “bebai“, yaitu roh yang dapat menguasai manusia, menyakiti, atau membunuh. Bebai diperoleh dengan pemeliharaan dari kecil sampai dewasa, kemudian siap dipakai oleh yang memelihara. Yang dapat mengobati bebainan adalah “balian“ (dukun). Gejalanya adalah perubahan kesadaran, tingkah laku agitatif yang terjadi mendadak, disertai kebingungan, halusinasi dan gejolak emosi. Episode ini cepat menghilang dan disertai periode amnesia.
Contoh penelitian mengenai bebainan adalah dari Suryani (1981) mengenai fenomena bebainan di beberapa desa di Bali. Suryani melaporkan bahwa lebih sering wanita usia muda atau belum kawin pernah mengalami bebainan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh hari raya Bali dan stress emosional.
3.            Cekik ( Jawa Tengah )
Cekik adalah suatu histeria konversi dengan kejang–kejang seluruh badan dan kesadaran menurun, sebelum jatuh kejang selalu menunjukkan seperti orang tercekik lehernya. Sebagian besar mengalami halusinasi visual menjelang atau saat serangan. Terjadi di desa Babalan, kecamatan Wedung, kabupaten Demak, Jawa Tengah, pada setiap tahun dalam bulan puasa menjelang lebaran. Santoso dan Pranowo menyebutnya sebagai “sindroma tekak“. Contoh penelitian mengenai cekik ini adalah penelitian Sumitro (1981) di desa Babalan, dan melaporkan bahwa wanita lebih sering mengalami cekik dari pada pria, hampir merata pada umur dewasa, tingkat pendidikan dan sosial-ekonomi rendah, serta berhubungan dengan kepercayaan mistik bahwa roh halus akan mengambil orang-orang tertentu di desa. Ternyata epidemi ini hilang dengan sendirinya sesudah bulan Puasa terlewati.
Masyarakat lokal Demak manganalisa fenomena cekik sebagai gangguan dari hantu cekik yang muncul setahun sekali. Analisa tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan penyakit-penyakit gangguan kejiwaan akibat budaya.
4.            Koro ( Sulawesi Selatan )
Koro adalah sindroma anxietas yang mendadak sampai dengan panik disebabkan oleh adanya waham bahwa alat kelaminnya akan mengkerut masuk dan menghilang ke dalam tubuhnya sehingga dirinya akan mati, pada umumnya terjadi pada laki–laki. Orang itu berusaha mencegah dengan cara memegang erat– erat alat kelaminnya atau mengikat dengan tali, kalau perlu minta bantuan orang lain memegang alat kelaminnya secara terus menerus.

3.2     Tingkat Stress
Menurut Stuart dan Laraia (2005),ada tiga macam tingkatan stress antara lain:
1.      Stress ringan
Berhubungan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Dapat memotivasi individu dan mampu memecahkan masalah secara efektif.
2.      Stress sedang
Memungkinkan individu berfokus pada hal-hal yang penting.
3.      Stress berat
Individu cenderung pada suatu objek yang dapat mengurangi ketegangan.

3.3     Konsep Mekanisme Personal Copying
 Mekanisme personal copying adalah reaksi individu ketika menghadapi suatu tekanan atau stress dan bagaimana individu tersebut menanggulangi stress yang dihadapi.
Sumber personal copying terdiri dari tehnik pertahanan, dukungan sosial, motivasian kemampuan dalam memecahkan masalah, kesehatan fisik, dukungan spiritual, sumber materi dan sosial.
Keyakinan spiritual dan pandangan seseorang yang positif dapat ditujukan sebagai dasar dari harapan dan dapat membenarkan upaya personal copying seseorang dalam keadaan yang paling merugikan.
Stuart, (2005) menyebutkan ada 4 karakteristik mekanisme personal copying yang tidak efektif,diantaranya:
1.      Menyatakan ketidakmampuan.
2.      Tidak mampu untuk menyelesaikan masalah secara efektif.
3.      Perasaan cemas, takut, marah dan tegang.

4.      Tidak mampu memenuhi kebutuhan.
 

About