BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Tingkah laku sakit, Peranan sakit dan
peranan pasien sangatlah di pengaruhgi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial,
perbedaan suku bangsa dan budaya, maka ancaman kesehatan yang sama tergantung
dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda dari
kalangan pasien.
Tingkah laku sakit adalah cara-cara
dimana gejala di tanggapi, di evaluasi dan di perankan oleh seseorang yang
mengalami sakit.
Budaya stress dan penyakit dapat di
alami individu atau kelompok dalam masyarakat, saat kebudayaan memberikan tekanan-tekanan
baik secara langsung atau tidak langsung. seperti sebuah kebudayaan yang
melalui aturan serta sangsi yang membuat para penganutnya terikat kedalam dan
tidak memungkinkan penganutnya untuk bertindak diluar from baku yang telah di
tetapkan. Oleh karena itu, kita patut dan wajib mempelajari dan memahaminya di
dalam kehidupan sehari-hari, tentu akan jauh lebih mudah dan dimengerti.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana cara mengidentivikasi orang yang
memiliki tingkah laku sakit, stress dan penyakit ?
1.3 TUJUAN
Berdasarkan
latar belakang dan masalah di atas, Kami membuat makalah ini dengan tujuan
untuk menjelaskan Tingkah Laku Sakit dan Budaya Stress dan Penyakit.
BAB II
TINGKAH LAKU SAKIT
2.1 Definisi
Tingkah Laku Sakit
Dalam mempelajari tingkah laku
sakit, penting bagi kita untuk mengingat pesan Von Mering, bahwa”studi yang mengenai makhluk manusia yang sakit
berperan bahwa setiap individu hidup dengan gejala-gejala maupun konsekuensi
penyakit, dalam aspek-aspek fisik, mental, aspek budaya dan aspek sosialnya. Untuk
meringankan penyakitnya, si sakit terlibat dalam rangkaian proses pemecahan
masalah yang bersifat internal maupun eksternal baik yang spesifik maupun yang
non spesifik”(Von Mering 1970:1972-273).
Ciri-ciri
orang yang bertingkah laku sakit:
1. Merasa
kurang enak badan.
2. Fungsi
tubuh yang kurang baik.
3. Kurangnya
nafsu makan.
4. Suhu
tubuh tidak normal,dll.
Tingkah laku sakit dapat terjadi
tanpa peranan sakit dan peranan pasien. Seseorang dewasa yang baru bangun tidur
dengan leher sakit menjalankan peranan sakit, maka ia harus memutuskan apakah
ia akan minum obat dan mengharapkan kesembuhan atau memanggil dokter. Namun
demikian, ini bukanlah tingkah laku sakit hanya apabila penyakit itu telah
didefinisikan secara cukup serius sehingga menyebabkan seseorang tersebut tidak
dapat melakukan sebagian atau seluruh peranan normalnya yang berarti mengurangi
dan memberikan tuntutan atas tingkah laku peranan orang-orang disekelilingnya, maka
barulah dikatakan bahwa seseorang itu melakukan peranan sakit.
Tingkah laku sakit, peranan sakit
dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, suku
bangsa, dan budaya yang berlaku disuatu tempat.
Contoh tingkah laku sakit, sebagai berikut:
1. Bangsa
Jepang
pada
periode 1996-1998 di RS Medistra Jakarta pada beberapa pasien berwarga Negara
Jepang. Tampak pasien segera berespon dengan perubahan sakit yang terjadi pada
dirinya. Sesuai dengan disiplin waktu yang sudah menjadi tradisinya, pasien
sering meminta schedul tindakan
keperawatan terhadap dirinya dan membuat perjanjian apabila terjadi perubahan
kondisi (kondisi perubahan suhu yang sering naik, turun, pada pasien DHF ), pasien
akan memanggil perawat untuk memeriksa suhu tubuhnya. Perawat harus memberitahu
hal-hal atau tindakan yang mendadak misalnya, visite dokter tiba-tiba datang. Dalam
menghadapi perubahan-perubahan kesehatan ia ingin segera mendapatkan tanggapan
dari para dokter dan perawat. Apabila dia sudah di tanggapi oleh dokter dan
perawat pasien merasa tenang.
Dari
observasi diatas, pasien Jepang merupakan tipe Public Pain dimana rasa sakit yang mereka rasakan ingin segera
ditangani dan memerlukan penjelasan atau concern
dari perawat maupun dokter yang menanganinya.
2. Masyarakat
Manado
Pasien yang dirawat dengan keluhan sakit pada area
perut kanan di IGD RS PERSAHABATAN pada tanggal 8 Desember 1998. Pasien Manado
ingin segera ditangani secepatnya. Karena RS Persahabatan merupakan RS
pemerintah yang sarananya serba terbatas, maka sulit untuk memenuhi semua
keinginan pasien. Dari segi penampilan pasien dan keluarga nampak bagus dan
rapi. Pasien juga sering mengeluh dan mengerang-erang kesakitan serta
memanggil-manggil perawat untuk segera ditangani.
Penjelasan
dari perawat sering diabaikan dan meminta penjelasan langsung dari dokter. Setelah
diberi penjelasan dari dokter, pasien malahan lebih sering mengeluh dan
menuntut penatalaksanaan secepatnya tanpa memperdulikan proses penyakitnya dan
prosedur penanganan karena keterbatasan alat dan tenaga, tindakan tidak bisa
dilakukan dengan segera. Keluarga pasien
menyatakan complain pada pelayanan
yang diberikan dan pasien dengan suara merintih meminta segera di pindahkan ke
Rumah Sakit yang lebih memadai. Perawat kemudian menyarankan rujukan ke RS
swasta.
Dari
observasi diatas, nampak bahwa pasien Manado merupakan tipe Public Pain dimana mereka meminta
perhatian yang berlebih dari perawat maupun dokter serta menginginkan yang
terbaik buat mereka.
3. Masyarakat
Bali
Pasien
di Rumah Sakit Sanglah Denpasar pada periode tahun 1995-1996 di beberapa
ruangan rawat inap.
Pasien
Bali dalam menghadapi perawatan terhadap dirinya jarang meminta perhatian lebih
dari perawat atau dokter teteapi mereka akan sangat berterimakasih bila
diperhatikan secara sewajarnya. Kehidupan beragama yang begitu kental membuat
setiap pasien selalu meminta tempat untuk menghanturkan sesajen di samping
tempat tidurnya. Jika lupa atau terlambat, mereka biasanya merasa tidak enak.
Sesajen biasanya dihaturkan oleh keluarga pasien untukm meminta keselamatan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.Kebersamaan adat yang kental membuat Rumah Sakit terkadang
dipenuhi oleh sanak saudara dan anggota banjar (sejenis RW dengan ikatan yang
kuat) dari pasien yang bersangkutan. Kehadiran sanak saudara bagi pasien
merupakan suatu kebahagiaan dan kebanggaan karena disanalah kualitas hubungan
si pasien dengan masyarakat komunitasnya. Bila sedikit yang datang mengunjungi
malahan pasien akan sangat bersedih. Dan itu tentui akan menghambat proses
kesembuhan si pasien.
Dari
observasi diatas, nampak bahwa pasien Bali merupakan tipe Private Pain dimana mereka mempunyai perasaan berterimakasih yang
sangat besar. Bila pasien merasa puas akan pelayanan yang diberikan kepadanya,
tidak jarang pasien memberikan oleh-oleh atau hadiah kepada perawat atau dokter
yang menanganinya. Bahkan setelah pasien sembuh banyak pasien menjalin hubungan
yang lebih akrab dengan perawat atau dokter yang merawatnya
BAB
III
BUDAYA
STRESS DAN PENYAKIT
3.1 Definisi Budaya Stress dan Penyakit
Awal terbentuknya Culture Bound Syndrome Stress dapat
dialami individu atau kelompok dalam masyarakat, saat kebudayaan memberikan
tekanan-tekanan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Stress
adalah suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan yang diterima
sebagai suatu hal yang mengancam, menantang serta merusak keseimbangan
seseorang(Bruner:2002).
WHO
(World Health Organization) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang sehat dan kurang
sehat jiwa di antaranya selalu diliputi oleh suasana kekhawatiran dan
kegelisahan. Kemudian, ia mudah marah karena hal-hal yang sepele dan menyerang
orang lain karena kemarahannya. Permusuhan, kebencian, sukar memaafkan orang
lain merupakan suatu penyakit kejiwaan. Begitupun ketika tidak mampu menghadapi
kenyataan hidup, tidak realistik, karenanya ia sering lari dari kenyataan
dengan cara selalu menyalahkan orang lain walaupun sebenarnya sumber kesalahan
adalah dirinya.
Contoh beberapa penemuan dalam
studi Etnopsikiatri di Indonesia
berkaitan dengan stress budaya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Gunawan
dan Banunaek (1968) bahwa pada tahun 1964
, sebanyak 10,14% pengunjung poliklinik psikiatri
di RSCM Jakarta berasal dari suku Minangkabau, dengan psikoneurosis 45,48% dan psikosomatik
15,80%. Berdasarkan kasus ini dapat disimpulkan adanya stress budaya dalam
3 bentuk, yaitu:
a. Pertentangan
antara generasi tua (nilai lama) dengan generasi muda (nilai baru).
b. Pertentangan
antara agama dan adat dengan pendidikan dan pandangan modern.
c. Pertentangan
antara adat yang dibawa dengan adat yang didatangi.
2.
Harahap
(1969) melakukan penelitian komparatif
mengenai kasus Etnopsikiatri di RSCM
Jakarta antara suku Minangkabau dan Batak. Bahwa pada suku Batak, kasus
kebanyakan adalah laki-laki, sedangkan pada suku Minangkabau kasus kebanyakan
adalah wanita. Menurutnya, hal ini berkaitan erat dengan peranan laki-laki
dalam kebudayaan Batak (patrilineal) dan peranan wanita dalam kebudayaan
Minangkabau (matrilineal), yang merupakan sumber stress.
3.
Atmodirjo
dan Salam (1969) mendiskripsikan
mengenai kasus psikosis (Acute
Schizoprenic Reaction) pada seorang wanita suku Batak yang berusia 21
tahun, yang baru menjalani pernikahan paksa menurut adat Tapanuli dengan seorang anak laki-laki dari saudara perempuan
ayahnya (Asymmetric Cross Cousin Marriage System). Kepatuhan pada adat
menimbulkan stress bagi wanita tersebut sampai pada taraf psikotik. Dengan pendekatan “Socio-cultural action” ternyata dapat
menanggulangi kasus tersebut.
4.
Sukirno
(1973) melaporkan tiga kasus dari keturunan
Arab yang mengalami stres budaya dan memunculkan gangguan jiwa, yaitu dalam
bentuk: anxietydepressive reaction,
psychotic reaction, dan depressive reaction. Keturunan Arab di Indonesia
telah mengalami akulturasi, namun masih kuat memegang adat-istiadat atau budaya
asalnya.
5.
Gunawan
(1980) mengidentifikasi beberapa kasus stress
budaya pada masyarakat Irian Jaya, yang dapat memunculkan berbagai gangguan
jiwa, yaitu:
a.
Urbanisasi (perubahan
pola hidup).
b.
Perbedaan budaya antara
penduduk pendatang dan asli.
c.
Suami-istri dengan
tingkat pendidikan dan latar belakang sosio-budaya yang berbeda.
d.
Konflik antara generasi
tua dan muda.
e.
Pelanggaran terhadap
adat, dan kepercayaan terhadap ilmu
hitam.
Jenis-jenis culture bound syndrome
and Psychopathology yang ada di Indonesia, sebagai berikut:
( Maslim (1987 dalam Arianto 2004:5-8) )
1.
Kesurupan
(umum)
Kesurupan
berasal dari bahasa Jawa yang berarti kemasukan sesuatu hal yang gaib.
Kesurupan memang selalu dikaitkan dengan fenomena gaib, yaitu seseorang yang
kerasukan makhluk halus sehingga manusia yang kerasukan mempunyai kepribadian
ganda dan mulai berbicara sebagai individu lain. Masyarakat
JawaTimur misalnya selalu menggunakan bantuan para dukun atau kyai dalam
mengobati seseorang yang kesurupan. Dukun atau kyai menggunakan efek sound
therapy dengan membacakan suluk dan para kyai biasanya membacakan doa dalam
bahasa arab. Menurut pandangan mereka suluk maupun doa mampu mengusir roh halus
yang masuk dan menguasai raga dari penderita kesurupan. Foster dan Anderson (1986) menjelaskan mengenai cara pengobatan
dukun (Shaman).
Beberapa
contoh penelitian mengenai kesurupan adalah sebagai berikut.
a. Prayitno dan Banunaek (1968) melaporkan kasus seorang wanita
sekolah perawat gigi di Jakarta yang mengalami sakit perut, pingsan, dan tidak
ingat. Sesudah sadar, ia tidak ingat kejadian tersebut dan merasa seperti dalam
keadaan tidur. Kejadian ini berulang setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat
Kliwon.
b. Djamaludin (1971) melaporkan mengenai fenomena
hasolopan pada suku Batak di Medan, yang mirip dengan kesurupan. Fenomena
semacam ini lebih sering dialami wanita dari pada pria, kebanyakan anak-anak
pubertas, terjadi pada semua strata sosial, perasaan frustasi dan depresi.
Penderita seolah-olah hidup dalam dua dunia (gaib dan nyata).
2.
Bebainan ( Bali )
Bebainan
adalah kemasukkan “bebai“, yaitu roh yang dapat menguasai manusia, menyakiti,
atau membunuh. Bebai diperoleh dengan pemeliharaan dari kecil sampai dewasa,
kemudian siap dipakai oleh yang memelihara. Yang dapat mengobati bebainan
adalah “balian“ (dukun). Gejalanya adalah perubahan kesadaran, tingkah laku
agitatif yang terjadi mendadak, disertai kebingungan, halusinasi dan gejolak
emosi. Episode ini cepat menghilang dan disertai periode amnesia.
Contoh
penelitian mengenai bebainan adalah dari Suryani
(1981) mengenai fenomena bebainan di beberapa desa di Bali. Suryani
melaporkan bahwa lebih sering wanita usia muda atau belum kawin pernah
mengalami bebainan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh hari raya Bali dan stress
emosional.
3.
Cekik ( Jawa Tengah )
Cekik
adalah suatu histeria konversi dengan kejang–kejang seluruh badan dan kesadaran
menurun, sebelum jatuh kejang selalu menunjukkan seperti orang tercekik
lehernya. Sebagian besar mengalami halusinasi visual menjelang atau saat
serangan. Terjadi di desa Babalan, kecamatan Wedung, kabupaten Demak, Jawa
Tengah, pada setiap tahun dalam bulan puasa menjelang lebaran. Santoso dan
Pranowo menyebutnya sebagai “sindroma tekak“. Contoh penelitian mengenai cekik
ini adalah penelitian Sumitro (1981)
di desa Babalan, dan melaporkan bahwa wanita lebih sering mengalami cekik dari
pada pria, hampir merata pada umur dewasa, tingkat pendidikan dan
sosial-ekonomi rendah, serta berhubungan dengan kepercayaan mistik bahwa roh
halus akan mengambil orang-orang tertentu di desa. Ternyata epidemi ini hilang
dengan sendirinya sesudah bulan Puasa terlewati.
Masyarakat
lokal Demak manganalisa fenomena cekik sebagai gangguan dari hantu cekik yang
muncul setahun sekali. Analisa tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan
masyarakat akan penyakit-penyakit gangguan kejiwaan akibat budaya.
4.
Koro ( Sulawesi Selatan )
Koro adalah sindroma anxietas yang mendadak sampai
dengan panik disebabkan oleh adanya waham bahwa alat kelaminnya akan mengkerut
masuk dan menghilang ke dalam tubuhnya sehingga dirinya akan mati, pada umumnya
terjadi pada laki–laki. Orang itu berusaha mencegah dengan cara memegang erat–
erat alat kelaminnya atau mengikat dengan tali, kalau perlu minta bantuan orang
lain memegang alat kelaminnya secara terus menerus.
3.2 Tingkat
Stress
Menurut Stuart dan Laraia (2005),ada tiga macam
tingkatan stress antara lain:
1. Stress ringan
Berhubungan
dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Dapat memotivasi individu dan mampu
memecahkan masalah secara efektif.
2. Stress sedang
Memungkinkan
individu berfokus pada hal-hal yang penting.
3. Stress berat
Individu
cenderung pada suatu objek yang dapat mengurangi ketegangan.
3.3 Konsep
Mekanisme Personal Copying
Mekanisme personal copying adalah reaksi
individu ketika menghadapi suatu tekanan atau stress dan bagaimana individu
tersebut menanggulangi stress yang dihadapi.
Sumber
personal copying terdiri dari tehnik pertahanan, dukungan sosial, motivasian
kemampuan dalam memecahkan masalah, kesehatan fisik, dukungan spiritual, sumber
materi dan sosial.
Keyakinan
spiritual dan pandangan seseorang yang positif dapat ditujukan sebagai dasar
dari harapan dan dapat membenarkan upaya personal copying seseorang dalam
keadaan yang paling merugikan.
Stuart,
(2005) menyebutkan ada 4 karakteristik mekanisme personal copying yang tidak
efektif,diantaranya:
1. Menyatakan ketidakmampuan.
2. Tidak mampu untuk menyelesaikan
masalah secara efektif.
3. Perasaan cemas, takut, marah dan
tegang.
4. Tidak mampu memenuhi kebutuhan.