Kamis, 09 Januari 2014

INDIKATOR KINERJA UTAMA RUMAH SAKIT



Indikator-indikator pelayanan rumah sakit dapat dipakai untuk mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Indikator-indikator berikut bersumber dari sensus harian rawat inap :

1.    BOR (Bed Occupancy Ratio = Angka penggunaan tempat tidur)

BOR menurut Huffman (1994) adalah “the ratio of patient service days to inpatient bed count days in a period under consideration”. Sedangkan menurut Depkes RI (2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Nilai parameter BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2005). 

Rumus :

(jumlah hari perawatan di rumah sakit) × 100%
(jlh tempat tidur × jlh hari dalam satu periode)

2.    ALOS (Average Length of Stay = Rata-rata lamanya pasien dirawat)
ALOS menurut Huffman (1994) adalah “The average hospitalization stay of inpatient discharged during the period under consideration”. ALOS menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai ALOS yang ideal antara 6-9 hari (Depkes, 2005).

Rumus :
(jumlah lama dirawat)
(jlh pasien keluar (hidup + mati))


3.    TOI (Turn Over Interval = Tenggang perputaran)
TOI menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya. Indikator ini memberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.

Rumus :
((jumlah tempat tidur × Periode) − Hari Perawatan)
(jlh pasien keluar (hidup + mati))





4.    BTO (Bed Turn Over = Angka perputaran tempat tidur)
BTO menurut Huffman (1994) adalah “…the net effect of changed in occupancy rate and length of stay”. BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya satu tempat tidur rata – rata dipakai 40 – 50 kali/TAHUN.

Rumus :
Jumlah pasien dirawat (hidup + mati)
(jumlah tempat tidur)


5.    NDR (Net Death Rate)
NDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian 2 x 24 jam atau 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar. Indikator ini memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit.

Rumus :
Jumlah pasien mati > 48 jam     × 100%
(jumlah pasien keluar (hidup + mati))


6.    GDR (Gross Death Rate)
GDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita keluar.

Rumus :

Jumlah pasien mati seluruhnya   × 100%
(jumlah pasien keluar (hidup + mati))



Jumat, 03 Januari 2014

KOMITE KESELAMATAN RUMAH SAKIT

Pendahuluan.
Masalah keselamatan pasien sudah menjadi issue global, terutama setelah dipublikasikannya “To err is human : Building a safer health system” pada tahun 1999 oleh Institute of Medicien (IOM), masyarakat dunia terhentak mengetahui kenyataan bahwa 44.000 sampai 98.000 penderita meninggal setiap tahunnya di USA diakibatkan karena kesalahan medik, dan lebih dari 1 juta cidera / tahun akibat kesalahan medik.
Sebenarnya masalah keselamatan pasien sudah dicantumkan didalam sudah Hippocrates (abad ke-4 SM) al:
·         To practice and  prescribe to the best of my ability for the good of my patient and try to avoid harming them
·         To avoid attempting to do things that orther specialist can do better
Yang kemudian diikuti oleh slogan primum non nocere / first do no harm. Walaupun patient safety sudah dipromosikan sejak lama akan tetapi angka kejadian insiden klinik masih tetap tinggi.
Pada tahun 2004 WHO merintis suatu program World Alliance for Patient Safety (Berdasarkan data-data yang diperoleh dari beberapa negara bahwa insiden klinik / adverse events, yang terjadi pada pasien rawat inap adalah sebesar 3 – 16%), untuk mengurangi angka kejadian insiden klinik.
Pencanangan Patient Safety oleh WHO direspons oleh PERSI dengan terbentuknya KP-RS pada tanggal 1 Juni 2005, sedankan pencanangan patient safety oleh Men-Kes RI dilaksanakan pada 21 Agustus 2005 didalam seminar Nasional PERSI di Jakarta.
Sebenarnya RSU Dr.Soetomo sudah meletakkan dasar-dasar patient safety sejak lama, jauh sebelum WHO yaitu dengan adanya semboyan “Saya senantiasa selalu mengutamakan kesehatan penderita, pemuka dalam pelayanan, pemuka dalam pendidikan dan pemuka dalam penelitian” serta AIEEMMM.
RSU Dr.Soetomo didalam upaya untuk meningkatkan patient safety mengeluarkan SK pembentukan Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit melengkapi beberapa komite yang sudah ada di RS.
Dengan harapan adanya kerja sama yang erat diantara komite-2 yang ada, ditunjang oleh niata yang positif untuk meningkatkan pasien safety oleh para pelaku pelayanan kesehatan yang telah sejak awal dibekali oleh kesadaran akan pentingnya keselamatan pasien semasa didalam pendidikan menjadi seorang dokter atau dokter spesialis dan juga ditunjang oleh situasi dan lingkungan yang aman didalam rumah sakit maka peningkatan patient safety bukanlah hal yang sulit dicapai.
Tujuan Sistim Keselamatan Pasien Rumah Sakit
  1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
  2. Meningkatnya akuntabilitas RS terhadap pasien dan masyarakat
  3. Menurunnya KTD di Rumah Sakit
  4. Terlaksannya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD.

Definisi Patienty Safety
I.                   US National Patienty Safety Foundation 2000
  1. Patienty safety is concerned primarily with avoidance, prevention and amelioration of adverse outcomes or injuries stemming from healthcare itself. It should address events that span the continuum of ‘errors’ adn deviations to accidents
  2. Safety emerges from the interaction of the components of the system. It is more than the absence of adverse aoutcomes and it is more than avoidance of identifiacle ‘preventable’ errors or occurrence. Safety does not reside in a person, device or departement. Improving safety depends on learning how safety emerges from the interaction of components.
  3. Patient safety is related to ‘quality of care’ but the two concepts are not synonymous. Safety is an important subset of quality. To date, activities to manage quality have not focused sufficiently on patient safety issues.

II.                KKPRS – PERSI
  1.  Suatu sistim dimana RS membuat asuhan pasien lebih lama
  2. Hal ini termasuk : Assesmen resiko, Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, Pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko
  3. Sistim ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan.

Beberapa istilah yang berkaitan dengan insiden klinik
I.                   Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) – Adverse Events
Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau karena tidak melakukan tindakan (ommision), dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien
II.                Kejadian Tidak Dapat Dicegah – Unpreventable adverse events
Suatu KTD akibat komplikasi yang tidak dapat dicegah dengan pengetahuan yang mutahir
III.             Kejadian Nyaris Cedera (KNC) – Near Miss
Suatu kejadian akibat melakukan suatu tindakan (commission) atau karena tidak melakukan suatu tindakan (ommission) yang dapat mencederai pasien, tetapi daj cedera serius karena keberuntungan (Chance), pencegahan (Prevention), atau karena Peringanan (mitigation).
IV.             Kesalahan Medis – Medical Errors
Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien. Kesalahan tersebut termasuk gagal melaksanakan sepenuhnya suatu rencana atau menggunakan rencana yang salah untuk mencapai tujuannya. Dapat akibat melakukan sesuatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan.
V.                Kejadian Sentinel – Sentinel events

 KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera serius; biasanya digunakan untuk menyatakan kejadian yang sangat tidak diharapkan atau tidak dapat diterima. Pemilihan kata sentinel terkait dengan kaseriusan cedera yang terjadi, sehingga pencarian fakta terhadap kejadian ini mengungkapkan adanya masalah yang serius pada kebijakan dan produser yang berlaku.

Cara Menganalisis Kebutuhan Perawat di Rumah Sakit

Pembahasan
Tenaga keperawatan merupakan sumber daya manusia terbanyak dalam rumah sakit, karena itu telah sepantasnya memperoleh perhatian khusus dari pihak rumah sakit. Diperlukan sistem manajemen yang baik untk mengatur tenaga keperawatan di rumah sakit, termasuk menentukan jumlah tenaga keperawatan yang bekerja dalam suatu rumah sakit.

Teori / rumus yang digunakan
Tenaga keperawatan yang dibutuhkan dalam sebuah rumah sakit dapat di hitung menggunakan beberapa cara, antara lain :

1. Cara Rasio
Cara ini menggunakan jumlah tempat tidur sebagai denominator personal yang diperlukan. Sehingga dapat diketahui perbandingan antara tenaga perawatan dan jumlah tempat tidur yang ditangani.
Cara ini memiliki standarisasi berdasarkan surat keputusans menkes R.I No. 262 tahun 1979 mengenai ketenagaan rumah sakit, denganstandar sebagai berikut :
1. RS tipe A & B
TM/TT = 1 / (4-7), TPP/TT = (3-4) / 2, TPNP/TT = 1 / 3, TNP/TT = 1 / 1
2. RS tipe C
TM/TT = 1 / 9, TPP/TT = 1 / 1, TPNP/TT = 1 / 5, TNP/TT = 3 /4
3. RS tipe D
TM/TT = 1 / 15, TPP/TT = 1 / 2, TPNP/TT = 1 / 6,TNP/TT = 2 / 3
4. RS Khusus = Disesuaikan

Ket :
TM : Tenaga Medis
TT : Tempat tidur
TPP : Tenaga Para Medis Perawatan
TPNP : Tenaga Para Medis Non Perawatan
TNP : Tenaga Non Medis

2. Cara Need
Cara ini berdasarkan kebutuhan beban kerja yang diperhitungkan sendiri dan memenuhi standar profesi. Menghitung kebutuhan perawat dengan cara ini membutuhkan gambaran mengenai jenis pelayanan yang diberikan kepada klien selama di rumah sakit. Mulai dari pelayanan di bagian pendaftaran, pemeriksaan dokter, pemeriksaan asisten dokter, penyuluhan, hingga laboratorium.
Hudgins (1992) memberi standar waktu yang dibutuhkan agar pelayanan pasien berjalan baik, yaitu :

Tugas Lama Waktu untuk Pasien (menit)
Baru Lama
Pendaftaran 3 4
Pemeriksaan Dokter 15 11
Pemeriksaas Asisten Dokter 18 11
Penyuluhan 51 0
Laboratorium 5 7

3. Cara Demand
Cara ini berdasarkan semua kegiatan yang nyata dilakukan oleh perawat di rumah sakit. Menurut Tutuko (1992), setiap klien yang masuk ruang gawat darurat dibutuhkan waktu sebagai berikut :
* Untuk kasus gawat darurat : 86,31 menit
* Untuk kasus mendesak : 71,28 menit
* Untuk kasus tidak mendesak : 33,09 menit

4. Teori Gillies (1989)
Teori ini dikemukakan oleh Gillies (1989) yang merumuskan tenaga keperawatan di satu unit perawatan. Cara ini berdasarkan jumlah jam perawatan per tahun per jumlah jam perawatan yang diberikan perawat per tahun.
Dengan rumus :

H = F/G = (AxBxC)/(xE)

Ket :
A = rata-rata jumlah perawatan/pasien/hari
B = rata-rata jumlah pasien/hari
C = jumlah hari/tahun
D = jumlah hari libur masing-masing perawat
E = jumlah jam kerja masing-masing perawat
F = jumlah jam perawatan yang dibutuhkan pertahun
G = jumlah jam perawatan yang dibutuhkan perawat per tahun
H = jumlah perawat yang dibutuhkan untuk unit tersebut

5. Teori Swansburg (1999)
Teori ini dikemukakan oleh Swansburg pada 1999. Cara ini berdasarkan jumlah rata-rata pasien/ hari, jumlah jam perawatan/pasien/hari, dan jumlah jam kerja perawat/hari.
Dapat dirumuskan :

Rata-rata jumlah pasien/hari x Jumlah jam perawatan/pasien/hari : Jam kerja/hari

HUKUM KESEHATAN


I. Pendahuluan
Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan.
Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat.
Sebagai konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala kegiatan apapun harus berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya pemeliharaan dan peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat serta lingkungan dan secara terus menerus memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.
Secara ringkas untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang maka harus secara terus menerus dilakukan perhatian yang sungguh-sungguh bagi penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan, adanya jaminan atas pemeliharaan kesehatan, ditingkatkannya profesionalisme dan dilakukannya desentralisasi bidang kesehatan.
Kegiatan-kegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan perangkat hukum kesehatan yang memadai. Perangkat hukum kesehatan yang memadai dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara upaya kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan hukum kesehatan, apa yang menjadi landasan hukum kesehatan, materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa mendatang.
Diharapkan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memberikan sumbangan pemikiran, baik secara teoritikal maupun praktikal terhadap keberadaan hukum kesehatan. Untuk itu dilakukan kajian normatif, kajian yang mengacu pada hukum sebagai norma dengan pembatasan pada masalah kesehatan secara umum melalui tradisi keilmuan hukum.
Dalam hubungan ini hukum kesehatan yang dikaji dibagi dalam 3 (tiga) kelompok sesuai dengan tiga lapisan ilmu hukum yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Selanjutnya untuk memecahkan isu hukum, pertanyaan hukum yang timbul maka digunakan pendekatan konseptual, statuta, historis, dogmatik, dan komparatif. Namun adanya keterbatasan waktu maka kajian ini dibatasi hanya melihat peraturan perundang-undangan bidang kesehatan.

II. Batasan dan Lingkup Hukum Kesehatan
Van der Mijn di dalam makalahnya menyatakan bahwa, “…health law as the body of rules that relates directly to the care of health as well as the applications of general civil, criminal, and administrative law”.(1)
Lebih luas apa yang dikatakan Van der Mijn adalah pengertian yang diberikan Leenen bahwa hukum kesehatan adalah “…. het geheel van rechtsregels, dat rechtstreeks bettrekking heft op de zorg voor de gezondheid en de toepassing van overig burgelijk, administratief en strafrecht in dat verband. Dit geheel van rechtsregels omvat niet alleen wettelijk recht en internationale regelingen, maar ook internationale richtlijnen gewoonterecht en jurisprudenterecht, terwijl ook wetenschap en literatuur bronnen van recht kunnen zijn”.(2)
Dari apa yang dirumuskan Leenen tersebut memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan cabang baru dalam ilmu hukum, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Rumusan tersebut dapat berlaku secara universal di semua negara. Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu pada peraturan perundang-undangan saja tetapi mencakup kesepakatan/peraturan internasional, asas-asas yang berlaku secara internasional, kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin.
Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam hukum kesehatan meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya, maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid).
Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa hukum kesehatan cukup luas dan kompleks. Jayasuriya mengidentifikasikan ada 30 (tiga puluh) jenis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kesehatan.(3)
Secara umum dari lingkup hukum kesehatan tersebut, materi muatan yang dikandung didalamnya pada asasnya adalah memberikan perlindungan kepada individu, masyarakat, dan memfasilitasi penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai. Jayasuriya bertolak dari materi muatan yang mengatur masalah kesehatan menyatakan ada 5 (lima) fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan, peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan kesehatan.(4)
Dalam perjalanannya diingatkan oleh Pinet bahwa untuk mewujudkan kesehatan untuk semua, diidentifikasikan faktor determinan yang mempengaruhi sekurang-kurangnya mencakup, “... biological, behavioral, environmental, health system, socio economic, socio cultural, aging the population, science and technology, information and communication, gender, equity and social justice and human rights”.(5)

III. Landasan Hukum Kesehatan
Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).(6)
Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing mentautkan hukum kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi, dan hak untuk memperoleh informasi.(7)
Demikian juga Leenen secara khusus, menguraikan secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang merupakan dasar bagi hukum kesehatan.(8)

IV. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan
Sebenarnya dalam kajian ini akan disajikan menyangkut seluruh lingkup hukum kesehatan, namun keterbatasan waktu, maka penyajian dibatasi pada materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan seringkali dikatakan sebagian masyarakat kesehatan dengan ucapan saratnya peraturan. Peraturan dimaksud dapat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan berbagai ketentuan internal bagi profesi dan asosiasi kesehatan. Agar diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga) komponen dalam suatu sistem hukum seperti yang dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties instellingen dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah diambil dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en handelingen.
Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan, norma dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan. Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan perundang-undangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan dan yang bersifat mengatur.
Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat dikatakan mengandung 4 (empat) obyek, yaitu:
1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan;
2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan;
3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan;
4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan.
Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip perikemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan dan kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri.(10)
Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana kesehatan adalah mencakup kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan ini mencakup 4 (empat) prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence dan justice.(11)
Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas terlebih dahulu komponen ketiga mengenai intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur. Komponen ini merupakan aktualisasi terhadap komponen ideal yang ada dalam komponen pertama. Bila diperhatikan isi ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan terdapat 4 (empat) sifat, yaitu:
1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
2. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;
3. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan.
4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.(12)
Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah benar atau tidak, kiranya dapat diukur dengan tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, yaitu apakah masih bersifat represif, otonomous atau responsive.(13)
Selanjutnya dengan komponen kedua tentang organisasi yang ada dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu organisasi pemerintah dan organisasi / badan swasta.
Pada organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat dan daerah serta departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Pada sektor swasta terdapat berbagai organisasi profesi, asosiasi dan sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang kesehatan.
Dari susunan dalam 3 (tiga) komponen tersebut secara global menurut Schuyt bahwa tujuan yang ingin dicapat adalah (14):
1. Penyelenggaraan ketertiban sosial;
2. Pencegahan dari konflik yang tidak menyenangkan;
3. Jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk secara individual;
4. Penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai peristiwa yang baik dalam masyarakat;
5. Kanalisasi perubahan sosial.

V. Hukum Kesehatan di Masa Mendatang
Hermien Hadiati Koeswadji mencatat bahwa dari apa yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang ada perlu terus ditingkatkan untuk (15):
1. Membudayakan perilaku hidup sehat dan penggunaan pelayanan kesehatan secara wajar untuk seluruh masyarakat;
2. Mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
3. Mendorong kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan;
4. Memberikan jaminan kepada setiap penduduk untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan;
5. Mengendalikan biaya kesehatan;
6. Memelihara adanya hubungan yang baik antara masyarakat dengan penyedia pelayanan kesehatan;
7. Meningkatkan kerjasama antara upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat melalui suatu bentuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang secara efisien, efektif dan bermutu serta terjangkau oleh masyarakat.
Untuk itu dukungan hukum tetap dan terus diperlukan melalui berbagai kegiatan untuk menciptakan perangkat hukum baru, memperkuat terhadap tatanan hukum yang telah ada dan memperjelas lingkup terhadap tatanan hukum yang telah ada.
Beberapa hal yang perlu dicatat disini adalah yang berkaitan dengan:
1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional yang telah ada harus diperkuat dan harus merupakan organisasi yang independen sehingga dapat memberikan pertimbangan lebih akurat;
2. Perlu dibangun keberadaan Konsil untuk tenaga kesehatan dimana lembaga tersebut merupakan lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan berbagai standar yang harus dipenuhi oleh tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam dunia kedokteran dan kedokteran gigi telah dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga kesehatan dalam upaya untuk menilai kemampuan profesional yang dimiliki tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Bagi tenaga dokter dan dokter gigi peranan Konsil Kedokteran Indonesia dan organisasi profesi serta Departemen Kesehatan menjadi penting;
4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk tenaga medis telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004;
5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi berbagai sarana kesehatan.

VI. Kesimpulan
Dari apa yang telah diuraikan diatas, hukum kesehatan merupakan cabang ilmu hukum yang baru. Untuk itu masih terbuka kesempatan yang luas bagi para ahli hukum melakukan berbagai pengembangan dengan tujuan tersedianya perlindungan yang menyeluruh baik untuk masyarakat penerima pelayanan kesehatan maupun tenaga dan sarana kesehatan pemberi pelayanan kesehatan. Kajian dapat dilakukan baik secara sektoral maupun dimensional melalui inter dan multidisiplin.


CATATAN KAKI
(1) Van der Mijn, 1984, ”The Development of Health Law in the Nederlands”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari ”Issues of Health Law”, Tim Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI bekerja sama dengan PERHUKI dan PB IDI, Jakarta, hal 2.
(2) H.J.J. Leenen, 1981, Gezondheidszorg en recht, een gezondheidsrechtelijke studie, Samson uitgeverij, alphen aan den rijn/Brussel, hal 22.
(3) D.C.Jayasuriya, 1997, Health Law, International and Regional Perspectives, Har-Anand Publication PUT Ltd, New Delhi India, hal 16-28.
(4) Ibid, hal 33.
(5) Genevieve Pinet, 1998, “Health Challenges of The 21st Century a Legislative Approach to Health Determinants”, Artikel dalam International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 134.
(6) Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran, Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 22.
(7) Roscam Abing, 1998, “Health, Human Rights and Health Law The Move Towards Internationalization With Special Emphasis on Europe” dalam journal International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 103 dan 107.
(8) HJJ. Leenen, 1981, Recht en Plicht in de Gezondheidszorg, Samson Uitgeverij, Alphen aan den Rijn/Brussel.
(9) Schuyt, 1983, Recht en Samenleving, van Gorcum, Assen, hal 11-12.
(10) Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
(11) Lihat Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 1994, Oxford University Press, New York, hal 38.
(12) Bruggink, 1993, Rechtsrefleeties, Grondbegrippen uit de Rechtstheorie, Kluwer, Deventer, hal 72.
(13) Philipie Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition, Toward, Responsive Law, Hasper Torch Books, New York.
(14) Schuyt, op.cit, hal 19.
(15) Hermin Hadiati Koeswadji, 2002, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 17-18.

Oleh : Faiq Bahfen

Minggu, 29 Desember 2013

UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR 44 TAHUN 2009 

TENTANG 

RUMAH SAKIT 


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 

Menimbang : a. bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak setiap

orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus

diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;

DOWNLOAD DI : https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCoQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.depkes.go.id%2Fdownloads%2FUU_No._44_Th_2009_ttg_Rumah_Sakit.pdf&ei=gpzGUsS2MYzykQeumYGwBw&usg=AFQjCNEdW9W5Gm1ij7-G6hB9syhIGNfmyw&sig2=BW1J9EGEgbqJix8EooCKxQ

Sabtu, 28 Desember 2013

ANALISIS PMK NO.1691 TAHUN 2011

ANALISIS PMK NO.1691 TAHUN 2011 

Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalammendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaran pelayanan kesehatan di rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks.
Keselamatan pasien rumah sakit merupakan suatu sistem dimana rumah sakitmembuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko,identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dantindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
  

Kamis, 07 Februari 2013

Animasi

Daidara


Nibi


Gobi


Sanbi


Rokubi


Kyuubi 
Naruto (kyubi 6 Tails)


Raikage A


Naruto, Sakura Vs Itachi


Sharingan 1


Junin Club


Sharingan 2



 

About